Antinuclear Antibody (ANA) adalah sekumpulan autoantibodi yang menyerang protein di dalam inti sel. Hasil ANA positif dapat menandakan adanya suatu kondisi autoimun, seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Hasil pemeriksaan ANA biasanya dilaporkan dalam bentuk titer, yaitu sebuah alat ukur kuantitatif jumlah antibodi, yang dinyatakan sebagai jumlah pengenceran dimana antibodi tersebut masih dapat dideteksi. Semakin tinggi titer ANA, semakin besar kemungkinan pasien tersebut mengalami kondisi autoimun, namun titer ANA tidak mencerminkan aktivitas penyakit secara akurat.
Dua metode utama dalam mendeteksi ANA adalah dengan indirect immunofluorescence (IF) dan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Saat ini, pemeriksaan ANA-IF menjadi gold standard pemeriksaan ANA pada pasien dengan SLE. Berdasarkan kriteria klasifikasi SLE oleh European League Against Rheumatism (EULAR) dan American College of Rheumatology (ACR) tahun 2019, hasil pemeriksaan ANA dengan metode immunofluorescence dijadikan sebagai kriteria entri. Pada kriteria tersebut, nilai titer ANA-IF minimal 1:80 menginklusikan pasien ke dalam kelompok yang perlu dilakukan asesmen lebih lanjut untuk mendiagnosis SLE. Pemeriksaan ANA-IF juga dapat melihat pola fluorosensi antibodi di bawah mikroskop, bukan hanya nilai titer saja. Pemeriksaan ANA menggunakan ELISA memiliki nilai cut off yang berbeda tergantung laboratoriumnya. Sesuai standar rujukan masing-masing laboratorium, pasien dapat dinyatakan memiliki hasil tes ANA ELISA yang positif apabila rasio lebih dari atau sama dengan 1,0 dan negatif apabila kurang dari 0,7.
Terdapat beberapa perdebatan yang muncul mengenai metode apakah yang paling superior dalam menegakkan diagnosis SLE. Beberapa dekade terakhir, pemeriksaan ANA dengan metode ELISA mulai diperkenalkan untuk mengatasi kelemahan ANA-IF, yaitu lamanya waktu pemeriksaan, membutuhkan sumber daya yang besar, dan bersifat operator-dependent. ANA-ELISA dinilai lebih efisien dalam hal waktu dan sumber daya. Namun, bagaimanakah sebenarnya performa ANA-IF dibandingkan ANA-ELISA dalam mendiagnosis SLE apabila ditinjau secara evidence based?
Alsaed et al meneliti 1.457 pasien dengan connective tissue diseases di Qatar, dimana pemeriksaan ANA dilakukan dengan metode IF dan ELISA. Pada penelitian tersebut, ANA-ELISA memiliki performa yang cukup baik dan dapat disandingkan dengan ANA-IF sebagai pemeriksaan gold standard. ANA-ELISA dapat mendeteksi anti-dsDNA dan anti-Ro dengan sensitivitasnya masing-masing sebesar 95,8% dan 98,76%, sedangkan sensitivitas ANA-IF dalam mendeteksi anti-dsDNA dan anti-Ro adalah sebesar 73,6% dan 61,8%. Sensitivitas ANA-IF untuk mendiagnosis SLE adalah 64,3%, sedangkan ANA-ELISA memiliki sensitivitas yang lebih tinggi yaitu sebesar 76,9%.
Studi lainnya oleh El-Chennawi et al meneliti 75 pasien SLE di Mesir melaporkan hasil yang sebaliknya, dimana ANA-IF memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan ANA-ELISA dalam mendeteksi antibodi. Selain itu, kemampuan ANA-IF dalam mendeteksi anti-dsDNA juga memiliki sensitivitas yang lebih tinggi (93,3%) apabila dibandingkan dengan ANA-ELISA (89,3%), namun spesifisitas kedua metode tersebut sama (100%). Penelitian tersebut merekomendasikan penggunaan ANA-IF sebagai pemeriksaan awal.
Sebuah studi oleh Khalifah et al di Arab Saudi membandingkan sensitivitas dan spesifisitas ANA-IF dengan ANA-ELISA dalam menegakkan diagnosis SLE. Pada penelitian tersebut, sensitivitas dan spesifisitas ANA-IF adalah 77.78 % dan 58.65%, sedangkan sensitivitas dan spesifisitas ANA-ELISA adalah 77.78% dan 80.77%. Pemeriksaan ANA dengan metode IF menunjukkan negative predictive value (NPV) yang lebih tinggi, namun positive predictive value (PPV) lebih rendah dibandingkan dengan ELISA dalam mendiagnosis SLE. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ANA-IF lebih sensitif namun lebih tidak spesifik dibandingkan ANA-ELISA dalam mendeteksi ANA pada pasien dengan suspek SLE.
Penelitian-penelitian tersebut memberikan wawasan yang penting mengenai performa klinis ANA-IF dan ANA-ELISA dalam mendeteksi antibodi pada pasien dengan SLE. Pertimbangan penggunaan metode pemeriksaan mana yang tepat harus disesuaikan kembali pada ketersediaan sumber daya pada fasilitas kesehatan. Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa pemeriksaan ANA tidak dapat berdiri sendiri untuk menegakkan diagnosis SLE. Klinisi tetap harus melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang relevan, dan didukung dengan data dari pemeriksaan penunjang sesuai indikasi. Hasil ANA yang positif sekalipun tidak akan bermakna tanpa adanya informasi mengenai manifestasi klinis pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan ANA, apapun metodenya, harus diinterpretasikan secara berhati-hati sesuai kondisi klinis pasien.
Referensi:
- Nashi RA, Shmerling RH. Antinuclear Antibody Testing for the Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus. Med Clin North Am. 2021;105(2):387-396.
- Alsaed OS, Alamlih LI, Al-Radideh O, Chandra P, Alemadi S, Al-Allaf A-W. Clinical Utility of ANA-ELISA vs ANA-Immunofluorescence in Connective Tissue Diseases. Scientific Reports. 2021;11(1).
- El-Chennawi FA, Mosaad YM, Habib HM, El-Degheidi T. Comparative Study of Antinuclear Antibody Detection by Indirect Immunofluorescence and Enzyme Immunoassay In Lupus Patients. Immunol Invest. 2009;38(8):839-850.
- Khalifah MJ, Almansouri O, Aga SS, et al. Comparison of Indirect Immunofluorescence and Enzyme Immunoassay for the Detection of Antinuclear Antibodies. Cureus. 2022;14(11):e31049.






Tinggalkan komentar