Systemic Lupus Erythematosus (SLE) seringkali didiagnosis pada wanita usia produktif, sehingga kehamilan pada pasien wanita dengan lupus menjadi perhatian besar, baik bagi klinisi maupun pasien. Meskipun angka kelahiran hidup pada ibu hamil dengan SLE berkisar antara 85-90%, kehamilan tetap dianggap sebagai situasi yang berisiko tinggi bagi pasien wanita dengan SLE. Kehamilan dengan lupus memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dengan perkiraan risiko kematian ibu hamil dengan SLE sekitar 20 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang sehat.

Sepanjang kehamilan normal, terutama selama trimester pertama dan kedua, terjadi peningkatan populasi sel Treg yang menginisiasi peningkatan respon proinflamasi terhadap antigen janin (allograft), yang bertujuan untuk mencegah aktivitas yang tidak diinginkan dari sel Th1, Th2, dan Th17 yang mendominasi. Pada kehamilan dengan SLE, terdapat kombinasi gangguan fungsi sel Treg dan peningkatan aktivitas Th17 (di bawah pengaruh estrogen), yang kemudian meningkatkan produksi IL-17. IL-17 pada ibu hamil dengan SLE tidak di downregulasi dengan peningkatan progesteron, dimana aktivitas ini seharusnya terjadi pada kehamilan normal. Hal ini dapat memberikan maternal-fetal outcome yang buruk pada ibu dan janin, meliputi preeklamsia, keguguran berulang, atau persalinan prematur, serta menurunnya respons imun terhadap infeksi selama kehamilan.

Naseri et al melakukan studi kohort terhadap 69 kehamilan pada 58 pasien wanita dengan SLE di Brazil. Sebanyak 39,2% pasien mengalami flare pada masa kehamilan, paling sering terjadi pada trimester kedua dan ketiga. Manifestasi yang paling sering ditemukan pada pasien yang mengalami flare berturut-turut adalah manifestasi kulit (29%), ginjal (24,6%), dan hematologi (25,4%). Terdapat perburukan fungsi ginjal pada 41% kasus setelah flare. Komplikasi kehamilan yang ditemukan pada penelitian ini meliputi diabetes gestational (2,9%), sepsis (2,9%), dan preeklamsia (10%). Ditemukan 2 kasus (3%) kematian ibu pada penelitian ini, dimana keduanya memiliki manifestasi penyakit yang berat dengan skor SLEDAI yang tinggi. Keduanya meninggal akibat syok sepsis terkait pneumonia akibat penggunaan metilprednisolone. 

Terkait dengan fetal outcome, penelitian Naseri et al mengobservasi bahwa 75% kelahiran dilakukan secara sectio caesaria. Komplikasi terhadap janin yang paling sering ditemukan pada studi ini adalah kelahiran prematur, yang terjadi pada 39% kasus. Selain itu, 50% kematian janin perinatal terjadi pada ibu dengan aktivitas penyakit berat, yang diukur dengan SLEDAI, sementara 21% kematian janin terjadi pada ibu dengan aktivitas penyakit ringan hingga sedang, dan tidak ada kematian janin pada pasien tanpa flare. Studi ini memberikan kesimpulan bahwa maternal-fetal outcome akan lebih buruk pada pasien wanita dengan SLE yang mengalami flare saat hamil dan maternal-fetal outcome terbaik diidentifikasi ketika remisi telah terjadi selama minimal 6 bulan sebelum konsepsi.

Poh et al melakukan penelitian yang serupa, yaitu sebuah studi kohort terhadap 75 kehamilan pada 45 pasien wanita dengan SLE di Singapura. Penelitian ini mengobservasi maternal outcome pada kehamilan dengan SLE meliputi flareselama kehamilan (33,3%), diabetes gestasional (5,3%), plasenta previa (4%), dan preeklamsia (1,9%). Fetal outcome yang diobservasi pada penelitian ini meliputi kelahiran preterm (30,2%), abortus (26,2%), fetal growth restriction (0,9%), dan kematian neonatus (1,9%). Sebanyak 57,1% kelahiran dilakukan secara sectio caesaria. Faktor risiko abortus pada SLE berkaitan dengan sindrom antifosfolipid, aktivitas penyakit yang tinggi, jumlah komplemen yang rendah, dan jumlah anti-dsDNA yang tinggi.

Di Indonesia, terdapat beberapa penelitian yang menjelaskan maternal fetal outcome pada kehamilan dengan lupus. Sebuah penelitian oleh Wibowo et al di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan fetal outcome berupa kelahiran preterm (37,5%), persalinan dilakukan secara sectio caesaria (66,7%), dan bayi berat lahir rendah (39,1%). Selain itu, penelitian ini mengobservasi adanya hubungan yang bermakna antara kontrol aktivitas penyakit dan komplikasi maternal, serta antara riwayat obstetri yang kurang baik dengan komplikasi fetal/neonatal.

Penelitian lainnya oleh Yue et al di RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung menunjukkan hal yang kurang lebih serupa. Dimana pada penelitian tersebut, ditemukan bahwa fetal outcome pada kehamilan dengan lupus adalah abortus spontan (18,9%), IUFD (9,4%), IUGR (1,8%), dan kematian neonatus (9,1%). Komplikasi yang terjadi pada neonatus meliputi kelahiran premature, bayi berat lahir rendah, dan retardasi pertumbuhan. Komplikasi pada kehamilan yang dapat diobservasi pada penelitian ini meliputi preeklamsia (13,2%), plasenta previa (13,2%), dan stroke (1,8%). Kematian ibu saat persalinan terjadi pada 3,8% kasus. 

Flare atau kekambuhan penyakit merupakan salah satu komplikasi yang sering ditemukan pada kehamilan dengan SLE. Penelitian Naseri et al dan Poh et al menunjukkan adanya peningkatan risiko flare pada pasien SLE yang hamil. Berdasarkan literatur yang telah dipublikasi sebelumnya, faktor-faktor yang dapat memprediksi flare pada kehamilan dengan SLE meliputi aktivitas penyakit yang tinggi pada masa konsepsi, lupus nefritis, dan penghentian obat-obatan imunosupresan seperti hidroksiklorokuin.

Kedua penelitian yang telah disebutkan sebelumnya mengobservasi adanya risiko kelahiran preterm pada kehamilan dengan SLE. Faktor risiko kelahiran prematur pada ibu dengan SLE meliputi sindrom antifosfolipid, nefritis lupus, hipertensi arteri, aktivitas SLE yang tinggi sebelum konsepsi, flare SLE, dan pengobatan dengan glukokortikoid selama kehamilan. Pada kehamilan dengan lupus, risiko terjadinya komplikasi seperti preeklamsia dan fetal distress lebih tinggi. Hal ini dapat menjelaskan alasan mengapa sebagian besar kelahiran dilakukan secara sectio caesaria pada kedua penelitian tersebut.

Kehamilan dengan SLE merupakan kehamilan yang berisiko tinggi, dan risiko tersebut bahkan lebih tinggi lagi pada kehamilan yang tidak direncanakan dengan aktivitas penyakit SLE yang tinggi. Oleh karena itu, setiap pasien wanita dengan SLE perlu diedukasi dengan baik mengenai segala kemungkinan yang dapat terjadi apabila pasien tersebut memutuskan untuk hamil. Dengan pengobatan yang adekuat dan pemantauan yang ketat, pasien wanita dengan SLE dapat melanjutkan perencanaan kehamilan dengan outcome yang baik. Diperlukan pula kerjasama multidisiplin antara Reumatolog dan dokter spesialis kandungan untuk mengusahakan outcome yang terbaik bagi ibu hamil dengan SLE.

Referensi:

  1. Gergianaki I, Bertsias G. Systemic Lupus Erythematosus in Primary Care: An Update and Practical Messages for the General Practitioner. Front Med. 2018;5:161.
  2. Mohammed RHA, Mumtaz H, Sangah AB, et al. Pregnancy in lupus: an updated consensus to guide best practice strategies. Egypt Rheumatol Rehabil. 2022;49:67.
  3. Naseri EP, Surita FG, Borovac-Pinheiro A, Santos M, Appenzeller S, Costallat LTL. Systemic Lupus Erythematosus and Pregnancy: A Single-Center Observational Study of 69 Pregnancies. Lúpus eritematoso sistêmico e gravidez: estudo observacional em um único centro com 69 gestações. Rev Bras Ginecol Obstet. 2018;40(10):587-592. 
  4. Poh YJ, Yii IYL, Goh LH, et al. Maternal and Fetal Outcomes in Systemic Lupus Erythematosus Pregnancies. Ann Acad Med Singap. 2020;49(12):963-970. 
  5. Wibowo SK, Ariane A, Hidayat S, et al. 391 Pregnancy outcome of systemic lupus erythematosus patients in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital, Jakarta, Indonesia. Lupus Science & Medicine. 2017;4.
  6. Yue EK, Rita C, Hamijoyo L. Outcome of Pregnancy in Patients with Systemic Lupus Erythematosus. Ina J Rheum. 2017;9(2).

Tinggalkan komentar

Trending