Aritmia merupakan komplikasi kardiovaskular yang berhubungan dengan lupus eritematosus sistemik (SLE). Pada lupus, sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan yang sehat, termasuk jantung, yang dapat menyebabkan berbagai masalah kardiovaskular. Aritmia menjadi salah satu masalah yang harus diperhatikan karena berpotensi menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Berdasarkan apa yang diketahui saat ini mengenai elektrogenesis aritmia, mortalitas pada SLE juga berkaitan dengan terjadinya aritmia, terutama dengan dilaporkannya kasus sudden death atau kematian mendadak pada pasien SLE. Abu-Shakra et al, dalam sebuah studi yang melibatkan 665 pasien SLE, mengidentifikasi kematian mendadak sebagai penyebab kematian keempat yang paling sering selama 20 tahun periode follow-up.

Lupus dapat memengaruhi sistem konduksi listrik jantung, yang kemudian dapat menyebabkan aritmia. Aritmia yang paling sering diamati pada pasien lupus meliputi sinus takikardi, atrial fibrilasi (AF), dan denyut ektopik (ectopic beats), dimana hal tersebut dapat meningkatkan risiko stroke, gagal jantung, dan kematian mendadak. Dalam studi yang dilakukan oleh Teixeira et al yang melibatkan 317 pasien SLE, ditemukan bahwa sekitar 85% pasien SLE mengalami kelainan irama jantung pada Holter monitoring, yang meliputi supraventricular ectopy (63,4%), ventricular ectopy (45,8%), bradikardi (31,7%), atrial takikardi (15,5%), dan atrial fibrilasi (2,8%).

Mitta et al dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pasien SLE dengan AF lebih mungkin mengalami efusi perikardial, tamponade jantung, syok kardiogenik, dan infarm miokard non ST elevasi (NSTEMI). Meskipun aritmia ventrikel jarang ditemukan pada pasien SLE, Systemic Lupus International Collaborating Clinics Registry menemukan bahwa pemanjangan interval QT (15,3%) dan peningkatan dispersi QT (38,1%) seringkali ditemukan pada pasien SLE.  Pemanjangan interval QT dan peningkatan dispersi QT adalah faktor risiko independen terjadinya aritmia ventrikel yang kompleks.

Mekanisme aritmia pada SLE belum sepenuhnya diketahui. Aritmia pada SLE berkaitan dengan proses inflamasi pada perikarditis dan miokarditis, iskemia miokard akibat aterosklerosis, atau kelainan sistem konduksi jantung akibat vaskulitis pembuluh darah kecil dengan deposit kolagen dan fibrotik. Pada awal penyakit, terjadi infiltrasi sel inflamasi dan, seiring dengan perkembangan penyakit, terjadi nekrosis pada miokardium dan penggantian jaringan miokardium dengan dengan jaringan fibrotik. Akibatnya, beberapa area fibrotik dapat mempengaruhi repolarisasi dan konduksi atrium serta ventrikel, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan irama jantung. Miokarditis teridentifikasi pada 3 – 15% kasus SLE, dan miokarditis sendiri berhubungan dengan keberadaan antibodi anti-Sjögren’s-syndrome-related antigen A (anti-Ro/SSA). Kondisi ini dapat berkembang dan mengakibatkan disfungsi ventrikel yang progresif, kardiomiopati dilatasi, hingga kegagalan fungsi jantung.

Antibodi anti-Ro/SSA mungkin berperan dalam gangguan irama jantung. Antibodi ini dapat berikatan dengan ion channel kalsium dan menurunkan densitas ion channel serta ekspresi protein, yang mengakibatkan gangguan regulasi homeostasis kalsium intraseluler dan akhirnya menyebabkan apoptosis sel-sel kardiomiosit. Selain itu, penelitian sebelumnya melaporkan interaksi antara antibodi anti-Ro/SSA dan reseptor muskarinik M3 yang menyebabkan penurunan aktivitas parasimpatis. Titer antibodi anti-SS-A/Ro yang meningkat pada SLE tampaknya juga berhubungan dengan perpanjangan interval QT. Lazzerini et al melaporkan bahwa selain tingginya prevalensi perpanjangan interval QT, pasien dengan anti-Ro/SSA positif juga memiliki variabilitas denyut jantung (heart rate variability) yang menurun dan insidensi late ventricular potential yang tinggi. Berdasarkan temuan tersebut, antibodi anti-Ro/SSA dapat menjadi faktor risiko terjadinya kematian mendadak akibat aritmia.

Obat-obatan yang umumnya diberikan pada pasien SLE, seperti kortikosteroid dan obat anti-malaria, seringkali menyebabkan takiaritmia dan perpanjangan QRS. Namun, terlepas dari banyaknya kontroversi, pengobatan SLE dengan hidroksiklorokuin (HCQ) dapat memberikan efek protektif karena dapat mengurangi kecepatan aksi potensial sel-sel pada sistem konduksi jantung, memperpanjang durasi aksi potensial, dan meningkatkan periode refrakter serat Purkinje. Hal ini disebabkan karena klorokuin terakumulasi pada lisosom di dalam sel, menyebabkan inhibisi pada enzim-enzim lisosom dan meningkatkan pH lisosom, sehingga terjadi pembentukan badan inklusi sitoplasma. Selain itu, klorokuin dapat mengikat dan memblok ion channel kalium Kir2.1, yang akhirnya menghasilkan efek antifibrilasi.

Teixeira et al. menganalisis 317 pasien SLE dan menemukan kelainan elektrokardiografi (EKG) pada 20,8% pasien, dan pada 85,2% pasien yang dilakukan Holter monitoring 24 jam. Pemanjangan interval PR pada penelitian tersebut berkaitan dengan penggunaan klorokuin yang lebih rendah, waktu penggunaan klorokuin yang lebih singkat, dan usia yang lebih tua. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa obat antimalaria memiliki efek protektif terhadap tingginya prevalensi aritmia pada pasien SLE.

Toksisitas klorokuin pada jantung dapat dikonfirmasi melalui biopsi endomiokardial dan studi ultrastruktural dengan mikroskop elektron transmisi. Perubahan struktural jantung yang menyebabkan gangguan konduksi jantung dapat terdeteksi pada pemeriksaan tersebut. MRI juga terbukti sangat bermanfaat dalam mendeteksi kardiomiopati yang diinduksi oleh klorokuin, dan merupakan modalitas yang direkomendasikan untuk membantu penegakan diagnosis. Sebuah studi melaporkan bahwa kardiotoksisitas HCQ mungkin berhubungan dengan dosis kumulatif HCQ, dan bahwa gangguan konduksi jantung meliputi blok atrioventrikular, complete heart block, dan bundle branch block adalah efek samping utama HCQ pada jantung. Laporan kasus lainnya melaporkan perbaikan fungsi jantung setelah penghentian obat pada pasien dengan kardiomiopati.

Meskipun terdapat kontroversi mengenai apakah pengobatan HCQ meningkatkan risiko aritmia, efek menguntungkan klorokuin terhadap aktivitas penyakit SLE lebih besar daripada kemungkinan toksisitas klorokuin. Penelitian Lo et al menunjukkan bahwa pengobatan HCQ pada pasien dengan SLE tidak meningkatkan risiko semua jenis aritmia jantung atau takiaritmia ventrikel, terlepas dari dosis kumulatif yang lebih tinggi atau durasi pengobatan HCQ.

Methotrexate dan siklofosfamid jarang menyebabkan aritmia ventrikel. Mofetil mikofenolat, takrolimus, dan rituximab dapat menyebabkan takikardia (dan AF pada rituximab). Sebaliknya, azathioprine dan belimumab dianggap aman. Oleh karena itu, penyesuaian terapi SLE dapat dilakukan untuk mengurangi risiko aritmia pada pasien SLE.

Manajemen aritmia pada lupus meliputi kombinasi pengendalian aktivitas penyakit lupus dan pengobatan aritmia itu sendiri. Terapi imunosupresan digunakan untuk mengurangi peradangan dan mencegah kerusakan jantung lebih lanjut. Obat antiaritmia dapat diberikan untuk mengatasi irama jantung yang tidak teratur, dan dalam beberapa kasus, implantasi pacemaker atau terapi ablasi jantung mungkin diperlukan. Pemantauan ketat dan pendekatan multidisiplin antara Reumatolog dan Kardiolog sangat penting untuk mencapai terapi yang optimal, karena aritmia pada lupus dapat secara signifikan memengaruhi kualitas hidup pasien dan prognosis penyakitnya.

Referensi:

1.        Teixeira RA, Ferreira Borba E, Bonfá E, Filho MM. Arrhythmias in systemic lupus erythematosus. Vol. 50, Bras J Rheumatol. 2010.

2.        Gawałko M, Balsam P, Lodziński P, Grabowski M, Krzowski B, Opolski G, et al. Cardiac arrhythmias in autoimmune diseases. Vol. 84, Circulation Journal. Japanese Circulation Society; 2020. p. 685–94.

3.        Mittal S, Siva C. Incidence of Atrial Fibrillation and Related Outcomes among Hospitalized Patients with Systemic Lupus Erythematosus: Analysis of United States Nationwide Inpatient Sample Database 2016–2019. J Clin Med. 2024 Mar 1;13(6).

4.        Tselios K, Gladman DD, Harvey P, Su J, Urowitz MB. Severe brady-arrhythmias in systemic lupus erythematosus: prevalence, etiology and associated factors. Lupus. 2018 Aug 1;27(9):1415–23.

5.        Lo CH, Wang YH, Tsai CF, Chan KC, Li LC, Lo TH, et al. Association of hydroxychloroquine and cardiac arrhythmia in patients with systemic lupus erythematosus: A population-based case control study. PLoS One. 2021 May 1;16(5 May).

6.        Lo CH, Wei JCC, Wang YH, Tsai CF, Chan KC, Li LC, et al. Hydroxychloroquine Does Not Increase the Risk of Cardiac Arrhythmia in Common Rheumatic Diseases: A Nationwide Population-Based Cohort Study. Front Immunol. 2021 Apr 2;12.

Tinggalkan komentar

Trending