Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun kompleks yang memengaruhi berbagai organ tubuh. Salah satu strategi terapi yang sedang berkembang dalam beberapa dekade terakhir adalah deplesi sel B dengan penggunaan rituximab (RTX). Rituximab merupakan antibodi monoklonal yang awalnya digunakan untuk menangani kanker yang berasal dari sel B. Seiring berjalannya waktu, penggunaannya diperluas ke berbagai penyakit autoimun, termasuk artritis reumatoid dan vaskulitis terkait antibodi sitoplasma antineutrofil (ANCA).
Efektivitas dan Keterbatasan Rituximab dalam SLE
Selama ini rituximab (RTX) digunakan secara off-label untuk pasien SLE dengan respons klinis yang sangat bervariasi. Sebagian pasien mengalami remisi yang cukup lama hingga lebih dari empat tahun, sedangkan sebagian yang lain mengalami kekambuhan dalam 18 bulan setelah terapi.
Beberapa uji klinis dan laporan kasus melaporkan rituximab (RTX) memiliki efektivitas yang signifikan dengan profil keamanan yang baik pada pasien SLE dan lupus nefritis (LN). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yi et al., kelompok pasien yang menerima RTX menunjukkan penurunan kadar protein urin 24 jam dan skor SLEDAI yang lebih rendah, serta tingkat remisi komplit yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok yang menerima siklofosfamid (CTX). Sementara itu, Looney et al. mengungkapkan RTX dapat meredakan gejala pada sebagian besar pasien SLE berat yang resisten dengan terapi konvensional. Selain itu, pada penelitian yang dilakukan Ramos et al., RTX secara signifikan memperbaiki gejala pada 91% pasien LN yang resisten atau sering kambuh.
Namun, pada studi berbasis randomized controlled trial (RCT) yaitu EXPLORER dan LUNAR, efektivitas RTX pada pasien SLE tidak menunjukan hasil yang signifikan. Dalam studi EXPLORER, 257 pasien SLE sedang hingga berat tanpa keterlibatan ginjal yang diberikan RTX dengan dosis 1.000 mg di minggu ke-0, 2, 24, dan 26, bersamaan dengan terapi sebelumnya yaitu azathioprine (AZA), metotreksat (MTX), atau asam mikofenolat (MPA), setelah 52 minggu kemudian tidak ditemukan perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan plasebo. Sementara itu, dalam studi LUNAR, 144 pasien LN kelas III atau IV yang menjalani terapi asam mikofenolat (MPA) dan diberikan RTX dibandingkan dengan kelompok yang menerima plasebo juga tidak terdapat perbedaan signifikan terkait proporsi pasien yang mencapai remisi ginjal komplit maupun parsial.
Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa keterbatasan terapi deplesi sel B atau rituximab seperti (1) keberadaan sisa sel B, karena beberapa sel B tetap bertahan di sirkulasi atau di jaringan tertentu yang menyebabkan respons terapeutik tidak optimal; (2) mekanisme penyakit yang tidak bergantung pada sel B, beberapa pasien SLE berkembang melalui jalur imunologi lain yang tidak sepenuhnya terkait dengan sel B sehingga rituximab tidak memberikan efek yang diharapkan; (3) penurunan imunoglobulin yang berkelanjutan dapat menimbulkan efek samping utama berupa risiko infeksi serius.
Selain itu, efek terapi deplesi sel B oleh rituximab sering kali bersifat sementara. Banyak pasien SLE masih memiliki tingkat sel B yang terdeteksi setelah dua kali infus rituximab, sehingga terapi lanjutan diperlukan untuk menjaga efektivitasnya. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih personal dan terarah juga sangat dibutuhkan termasuk pemantauan kadar imunoglobulin sebelum setiap siklus terapi untuk menilai keseimbangan antara manfaat dan risiko.
Keamanan Jangka Panjang dan Alternatif Terapi Deplesi Sel B
Dalam jangka panjang, terapi deplesi sel B dengan rituximab dapat meningkatkan efektivitas dalam membunuh sel B terutama dengan pemberian ulang yang terstruktur. Namun, keterbatasan terapi inilah yang mendorong pengembangan strategi baru. Beberapa pendekatan lain mulai diteliti terkait penggunaan agen deplesi sel B selain rituximab, seperti obat yang menargetkan antigen pematangan sel B (BCMA), maupun terapi berbasis imunomodulasi yang lebih luas seperti penghambatan interferon tipe 1, serta terapi yang menargetkan berbagai jalur imun lainnya dalam SLE.
Kesimpulan
Meskipun rituximab telah membuka jalan bagi terapi deplesi sel B dalam penanganan SLE, keterbatasannya menunjukkan pendekatan ini tidak dapat menjadi satu-satunya solusi. Kompleksitas patofisiologi SLE menuntut strategi pengobatan yang lebih individual dan multi-target. Di masa depan, kombinasi antara terapi berbasis sel B dan pendekatan imunomodulasi lainnya dapat menjadi strategi yang lebih efektif dalam mengendalikan SLE secara jangka panjang.
Referensi
- Stockfelt M, Teng YKO, Vital EM. Opportunities and limitations of B cell depletion approaches in SLE. Nat Rev Rheumatol. 2025 Feb 15;21(2):111–26.
- Mo S, Li Y, He J, Lin L. Progress of rituximab in the treatment of systemic lupus erythematosus and lupus nephritis. Front Med (Lausanne). 2024 Oct 4;11.
- Yi L, Luo FZ, Deng CP. The clinical study of rituximab in the treatment of severe lupus nephritis. Acta Universities Medicinalis Nanjing (Natural Sci). 2014; 8:1102–4.
- Looney RJ, Srinivasan R, Calabrese LH. The effects of rituximab on immunocompetency in patients with autoimmune disease. Arthritis Rheum. 2008 Jan 28;58(1):5–14.
- Ramos-Casals M, Soto M, Cuadrado M, Khamashta M. Rituximab in systemic lupus erythematosusA systematic review of off-label use in 188 cases. Lupus. 2009 Aug 3;18(9):767–76.
- Carruthers MN, Topazian MD, Khosroshahi A, Witzig TE, Wallace ZS, Hart PA, et al. Rituximab for IgG4-related disease: a prospective, open-label trial. Ann Rheum Dis. 2015 Jun;74(6):1171–7.
- Gottenberg JE, Guillevin L, Lambotte O, Combe B, Allanore Y, Cantagrel A, et al. Tolerance and short term efficacy of rituximab in 43 patients with systemic autoimmune diseases. Ann Rheum Dis. 2005 Jun;64(6):913–20.






Tinggalkan komentar